Abstract:
Sejak awal berdirinya kecuali satu jedah waktu amat singkat pada parohan kedua tahun 1950-an, sistem hukum negeri ini menyebut “sumber hukum tertinggi” nya adalah ideologi negara, ini hal aneh yang perlu terus dipertanyakaan: negara koq punya ideologi?, dan konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pertanyaan yang mula-mula wajar atau normatif saja, menjadi keterlaluan sejak Soekarno memaklumkan Dekrit 5 Juli 1959 yaitu Pembubaran Konstituante, kembali ke UUD 1945, pemberlakuan demokrasi terpimpin yang mengkeramatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya sumber
hukum resmi di Indonesia. Keterlaluan itu semakin menjadi-jadi ketika Soeharto berkuasa yang selama rezim “Demokrasi Pancasila” atau orde barunya yang militeristik dari tahun 1966 sampai dengan tahun 1998, menyempurnakan pengkeramatan sumber hukum resmi itu dengan memonopoli pemaknaan dan penafsiran tunggal yang wajib dihapalkan di luar kepala oleh anak-anak sekolah. Kedua sumber hukum tertinggi yang alamiahnya memang sudah serba terpusat pada negara alias negaraisme berlebihan itu, sungguh-sungguh
diterjemahkan apa adanya yang tersurat, disalin dan dikutif, dipidatokan dan dihapalkan lurus-lurus selurus-lurusnya sejalan dengan pemaknaan dan penafsiran tunggal oleh negara
(Pemerintah)1.